Ajaib.
Kalian tahu apa definisi kata ‘ajaib’? ‘Aneh’, ‘langka’,
atau ‘mukjizat’? Sepanjang apapun definisinya dan sebanyak apapun padanan
katanya, menurut saya ‘ajaib’ itu cukup terangkum dalam satu kata. Hayo coba
tebak apa? *sodorin mic* Yang jawab ‘Sarasvamily’ langsung saya kasih soto
sekalian penjualnya. Naha bisa? Baiklah, mari kita klir-kan sekarang juga. *sikap, *Duduk manis, *siapkan cemilan, *saya naik ke mimbar.
Ajaib dalam konteks per-Sarasvamily-an ini hampir sama
artinya dengan kata ‘aneh’. Ya, Sarasvamily itu aneh. Berawal dari sebuah
‘klik’ yang saya lakukan pada tombol ‘Follow’ di akun Twitternya, beberapa saat
kemudian keanehan-keanehan lainnya muncul berturut-turut.
Mendadak muncul ‘Sarasvamily’ di daftar BBM group ponsel saya. Lebih ajaib lagi
adalah saya kreatornya. Ya, saya yang bahkan –sebelumnya, benci dengan grup-grup-an di BBM. Selain karena bunyi
notifications-nya yang mengganggu
kedamaian hidup, terutama kalau mayoritas membernya adalah biang gosip, juga karena
kondisi ponsel saya sendiri. Menekan ‘Accept’
untuk sebuah request grup BBM itu
sama halnya dengan menambah ‘beban hidup’ bagi ponsel saya yang leletnya luar
binasa.
Lalu ini apa-apaan lha kok
saya sampai membuat grup baru? Grup dengan traffic
keluar-masuk member yang frekuensinya se-sering ganti pakaian dalam ini?
Entahlah. Anggap saja ini ‘ajaib’ yang pertama.
Berikutnya, pemirsa sekalian. Tiba-tiba muncul akun baru di aplikasi Twitter ponsel saya. Akun Sarasvamily. Sebenarnya ini bukan sesuatu yang terlalu tiba-tiba juga. Ke-tiba-tiba-an di sini adalah ketika status saya sebagai followers naik (atau turun?) pangkat menjadi administrator akun perkumpulan anggota sekte pecinta Sarasvati ini. Singkatnya, bersama empat orang lain, saya menjadi sukarelawan dan sukarelawati jempol di akun tersebut.
Ini semua berawal dari rasa iba (baca: ngenes, miris,
red.) yang tumbuh ketika membaca posting : “Duh,
kok akun ini sepi ya? Ga keurus ya?” dan semacamnya di akun tersebut.
Akhirnya, saya –dan seorang yang akhirnya menjadi admin juga, memberanikan diri
untuk mengajukan lamaran pekerjaan sebagai admin. Kenapa harus berani? Selain
rawan di-bully, ketua adminnya pun ‘manis’
sekali. Semanis keripik pedes level sepuluh. Haha. Lupakan. Saya dan admin lain
cinta banget kok sama dia.
Melewati serangkaian ‘masa orientasi’ dan ‘halang
rintang’ yang beraneka ragam, saya (dan kawan-kawan admin lain) mengurus lapak
Sarasvamily. Akun sepi, di-bully,
posting ‘kering’ di sana sini, hingga sekarang sudah ‘dihuni’ oleh 1800-an
makhluk yang capruknya luar biasa. Alhamdu? Lillaaaahhh! *efek asap* *muncul
pak ustadz*
Ajaib selanjutnya. Selain karena takdir Tuhan YME
(tssaahh!), karena Sarasvamily lah saya bertemu orang-orang baru. Orang-orang
baru termasuk tim admin, yang sebelumnya hanya saya temui sebatas di dunia maya
saja. Orang-orang baru yang tidak kalah ajaib. Ada yang berhidung lima,
bertubuh empuk seperti gula-gula kapas, bergigi bak serigala, bersayap
kelelawar, bermata satu .... Tenang, yang ini becanda kok.
Pertama kali bertemu sesama admin adalah ketika event Djakarta Artmosphere 2011 digelar.
Rencana ngegigs bareng yang pada
akhirnya berujung pada semacam liburan bersama-sama tersebut, bagi saya juga
ajaib. Diawali dengan pertemuan saya dengan admin dari Yogyakarta dan Bandung
yang syahdu di depan Masjid Cipaganti –lihat, sebenarnya kami tidaklah secapruk
yang kalian pikir. Betapa kami ini Islami. Hhhhmphh.... Kemudian saya dan Sarasvamily
lainnya berangkat bersama-sama menuju ibukota, menonton geng-nya teh Risa Saraswati beraksi di perhelatan Djakarta Artmosphere 2011.
Sebelum, selama dan setelah menonton acara ini pun tidak
kalah ajaibnya. Saya dan gangster
Sarasvamily tiba di venue (Tennis
Indoor Senayan) kira-kira 6 jam sebelum open
gate. Jangankan ketika acara selesai, acara baru dimulai saja fisik kami
rasanya sudah serupa baju yang belum diseterika seminggu, lalu dipakai tidur.
Kusut. Terlalu fanatik? Terlalu rajin? Terlalu bersemangat? Entahlah. Waktu
luang memang tidak bisa diulang. Jadi, kenapa tidak untuk dinikmati saja?
Di tengah penantian panjang laksana menunggu bulan di siang hari (yakali ga bakal kesampaian!), saya dan seorang admin lainnya memutuskan untuk ke musholla. Selesai membereskan urusan rohani, kami pun keluar dari musholla. Dan, ..... jengjengjengg-hyaakkk-ddeeesss, apa yang kami lihat di depannya? Sesosok teh Risa Saraswati menyembul di balik tanaman merambat, sejenak lalu berlari melompat-lompat. Haha. Bukan, yang berjingkat-jingkat itu hati saya kok. Iya, itu pertama kalinya saya melihat teh Risa Saraswati. Asli. Bukan KW. teh Risa Saraswati di luar Youtube, sleeves CD albumnya yang saya simpan rapi sejak SMA, atau artikel-artikel yang mengulasnya di dunia maya. Ajaib bukan?
Kalian tahu kalimat apa yang terbersit di pikiran saya
saat itu? “Teh Risa itu tinggi banget.” Baiklah, sepertinya se-penting apapun
topik ini di kamus saya, saya takut kalian bablas ngorok kalau saya jabarkan
lebih jauh lagi..
Entah kenapa saat bertemu dengan Teh Risa (dan
kawan-kawannya) saat itu, saya justru kepikiran ibu saya. Bukan karena ibu saya
mirip Teh Risa, atau sebaliknya –Teh Risa yang mirip ibu (-ibu, alias keibuan,
red.)! Tapi adegan sinetron ‘Cintaku Berlabuh di Musholla Senayan’ itu tadi
bermula dari sepatah SMS ibu saya, yang berbunyi : De, kalau main jangan sampai
lupa makan sama sholat, kuatir kamu pingsan. Ajaib nan mengharukan, kawan.
... (Bersambung ke Tjaproek selanjutnya..trims)
No comments:
Post a Comment